Songfict #Ajarkan aku
"Hai, Yas! Apa kabar?" Sapaan ramah datang dari wanita berhijab mauve yang tengah menggendong seorang bayi. Aku balas tersenyum, mengatakan kabarku, sebelum akhirnya tatapanku jatuh pada wajah damai si kecil yang tampak lelap dalam dekapan Mauryn.
"Siapa namanya?" lirihku seraya mengelus lembut pipi gembilnya dengan ujung telunjuk. Hati-hati aku melakukannya sebab tak ingin mengganggu mimpi indah anaknya teman baikku ini.
"Aku Kevano, Tante. Anak pertama Mama Mauryn dan Ayah Tirta," balasnya dengan suara anak kecil yang terdengar menggelikan di telingaku. Sontak aku dan Mauryn kompak tertawa. Mungkin menyadari tingkah konyol kami yang jauh dari kata dewasa.
Aku mengusap sudut mataku yang basah akibat rasa haru yang tiba-tiba menyeruak. Jika saja laki-laki itu tidak pergi, mungkin sekarang aku juga punya makhluk kecil seperti Mauryn. Ya ampun rasanya aku ingin tertawa. Menertawakan kebodohanku yang bisa-bisanya masih berharap pada orang seperti dia. Orang yang sampai hati mengatakan bosan sehari sebelum akad dilaksanakan.
Mauryn langsung membawaku ke pelukannya. Namun upayanya menenangkanku tidak berhasil ketika sebuah tanya meluncur dari bibirnya.
"Gimana hubunganmu dengan Shaka?"
Ini sudah dua tahun berlalu, tetapi mendengar nama laki-laki itu kembali disebutkan membuatku terlempar ke masa lalu.
Shaka.
Bahkan sekadar mengeja namanya di kepalaku pun rasanya berat. Dia adalah satu-satunya manusia yang ingin kumusnahkan detik ini juga. Aku sangat membencinya, tapi juga gagal membuang jauh-jauh sosoknya dari hidupku.
"Kalau aku bilang baik, apa kamu percaya?" tanyaku balik tanpa menatapnya. Berusaha menyembunyikan kabut bening yang menumpuk di pelupuk mata. Aku tidak ingin menangis disini. Namun kenangan pahit itu justru menyerbu ingatanku seakan pertahanan diri yang kubangun susah payah terkesan sia-sia.
"Dilihat dari wajahmu yang mendadak mendung begitu, hanya orang bodoh yang akan percaya, Yas. Tapi aku benar-benar minta maaf karena udah maksa kamu datang ke reuni ini. Niatku cuma mau bantu jadi jembatan kalian supaya semuanya clear."
"Kami udah clear sejak dia bilang bosan, Ryn. Kamu tau 'kan aku tipe orang yang nggak akan memaksa seseorang untuk tetap bersamaku? So, udah ya jangan kamu pikirin lagi," tutupku tak ingin memperpanjang pembahasan kami. Menceritakan lagi hubunganku dengan laki-laki itu bagai mengorek luka yang masih basah. Perih.
Mauryn berdehem mengiyakan, selanjutnya kami mengambil tempat duduk yang telah direservasi oleh teman-teman sekelasku. Beberapa teman perempuan yang kukenali langsung menyapa. Menanyakan kabar, pekerjaan, dan status yang membuatku mau tak mau harus mengakui kesendirianku. Akhirnya aku bisa menghela napas lega karena obrolan tentang pacar, suami dan pasangan masing-masing dari mereka tidak terdengar lagi.
Sayangnya kelegaanku tidak bertahan lama. Bisikan-bisikan mereka yang terlampau keras menganggu fokusku dari pesan Ibu yang beruntun akibat mengkhawatirkan keadaanku. Spontan aku menengadah dari layar ponsel, beralih menatap objek yang menjadi bahan perbincangan mereka.
Oh, ayolah. Seharusnya aku tidak perlu terkejut begini. Wajar-wajar saja melihatnya datang bersama seorang gadis lain. Itu haknya dan bukan urusanku. Tapi kenapa rasanya jantungku bagai ditusuk ribuan jarum?
"Wahh ... akhirnya Bapak Shakaryan Mahatma datang juga. Loh, ini siapa, Bro?"
"Jadi udah nemu penggantinya, Shak?" celetuk Naufal dengan lirikan yang jelas-jelas ke arahku.
Kini semua mata tertuju padaku, tak terkecuali Shaka. Netra sejernih madu itu menatapku dengan raut yang sama terkejutnya denganku. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin dia tak menyangka aku akan menghadiri acara ini juga.
Jangankan dia. Aku sendiri pun tak menyangka punya keberanian sebesar ini untuk muncul dihadapannya.
Sebuah tangan terasa mengusap punggungku pelan, menyadarkanku dari kecanggungan di meja kami. Saat menoleh, kutemukan Mauryn pelakunya. Wanita itu menampilkan seutas senyum yang dipaksa. Agaknya merasa bersalah karena memaksaku datang kesini sama artinya dengan mendorongku ke dasar jurang.
Aku mengangguk singkat, bermaksud menyuruhnya untuk tidak mengkhawatirkanku seperti Ibu. Lagipula aku sudah cukup dewasa sekarang. Masalah seperti ini harusnya bisa kuhadapi dari jauh hari.
Berupaya tidak terpengaruh oleh tatapan kasihan dari mereka, aku segera menyambar segelas fruit punch yang ada di meja, meneguknya susah payah sebab tenggorokanku terasa kering.
"Aku permisi ke toilet sebentar," pamitku. Tanpa perlu mendapat persetujuan, kakiku bergegas melangkah meninggalkan meja. Menahan air mata ternyata membuat dadaku kian sesak saja. Daripada menangis di depan mereka, lebih baik aku menuntaskan air mataku di bilik toilet.
Kuayun langkahku lebar-lebar. Berharap aku tidak salah arah karena fokus yang terbagi. Kepalaku penuh dengan asumsi tentang perempuan yang dibawa Shaka. Bagaimana bisa dia semudah itu menerima orang baru? Bagaimana bisa dia ... dia begitu cepat melupakanku?
Semoga pintu toilet yang tampak di depan mata tidak bergerak mundur lagi. Aku sangat ingin berada di dalam sana secepatnya. Menumpahkan segala emosi yang sedari tadi kupendam mati-matian. Aku sungguh lelah bersandiwara seakan semuanya baik-baik saja.
"Tata!"
Panggilan itu spontan mematikan seluruh sendi di tubuhku. Tak kusangka Shaka masih memiliki efek yang begitu besar padaku. Lihatlah, kini aku seperti perempuan lemah yang sukses dihancurkannya. Perempuan yang menanamkan banyak kebencian untuknya, tapi belum juga dapat melupakannya. Ck, benar-benar lemah!
Aku tidak berniat membalik badan, jadi kupilih memandangi pintu toilet yang tampak tertawa mengejek karena aku gagal menggapainya. Sayangnya itu tak lama, tubuh tegap Shaka dengan tidak tahu dirinya malah menghalangi arah pandangku.
"Berhenti memanggilku Tata. Aku benci nama itu," ujarku sinis. Aku tak berani menatap mata teduh itu. Takut nanti emosiku kembali menguasai diri.
"Aku mau kita bicara, Ta."
Agaknya aku mulai meragukan kemampuan pendengaran Shaka. Bukankah aku sudah mengatakan jika aku benci panggilan itu? Dan lagi, kenapa sekarang dia gencar ingin bicara denganku. Apa lagi yang mau dijelaskannya? Topik pembicaraanku yang terlalu membosankan? Hidupku yang terlalu monoton? Atau mungkin dia mau mengenalkanku pada calonnya itu? Wah, mengesankan!
"Sebaiknya jangan. Aku takut kamu bosan."
"Ta–"
"Namaku Yashinta!" bentakku tanpa sadar. Aku mendongak, melihatnya yang tampak kaget dengan reaksiku barusan. Selama ini aku memang tidak pernah meninggikan nada suara kepada siapapun. Aku selalu bisa mengendalikan diri. Tapi kini tidak lagi. Kesabaranku kian menipis saat melihat langsung sosok Shaka yang baik-baik saja. Bukannya aku iri, tapi kenapa orang yang menyakitiku bisa lebih bahagia?
"Oke, aku minta maaf, Yashinta. Tapi tolong izinkan aku untuk bicara. Aku tidak meminta banyak waktumu. Hanya sebentar. Aku janji."
Sebelum aku memberinya izin, Shaka lebih dulu menarik pelan lenganku. Aku tidak mampu lagi menolak. Pikiranku terlalu kalut untuk bisa berpikir jernih. Jadi ku ikuti saja langkahnya yang membawaku ke area outdoor kafe.
Di bawah gemerlapnya tumblr lamp, kami duduk di sebuah kursi kayu. Aku belum mau menatapnya. Sebuah keluarga bahagia di seberang sana lebih menarik perhatianku daripada seorang yang duduk di sebelahku kini. Tanpa kami sadari, kedua tangan kami masih saling bertautan. Menyebarkan rasa hangat pada jantungku yang semakin berdegup kencang.
"Perempuan tadi calon istriku."
Refleks aku menarik tangan dari genggamannya seraya menoleh ke arah pemuda berkaos polo tersebut. Kuselami jernihnya mata Shaka, berusaha menemukan kebohongan yang sepertinya hanya anganku saja. Nyatanya ia memang berkata jujur.
"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Semoga saja Shaka tak menyadari suaraku yang bergetar karena menahan tangis.
"Aku mau jujur. Sebenarnya dia anak sahabat Ibuku. Kami dijodohkan sejak lama, tapi aku selalu mengulur waktu ketika akan bertemu dengannya. Sampai saat Ibu tahu kalau aku mau menikahimu, beliau kecewa." Kudengar Shaka mengembuskan napas kasar. Dia nampak kebingungan melihatku diam saja. Memangnya apa yang dia harap aku lakukan? Menjambak rambutnya yang dikuncir sedikit itu? Atau menendangnya hingga tubuh jangkung itu tersungkur? Oh, astaga. Aku mana sekuat itu!
"Sengaja kusampaikan mendadak karena kupikir Ibu akan menerima pilihanku yang akan menikah esok pagi. Namun perkiraanku salah. Ibu serangan jantung malamnya. Aku yang tidak lagi bisa berpikir memilih setuju dengan permintaannya menjalin hubungan dengan Kartika." Shaka menjeda ucapannya kala melihat mataku yang memerah. Bulir-bulir bening itu tidak lagi mampu kutahan. Semuanya mendesak untuk turun, membuat ulu hatiku seperti diremat kuat.
"Bosan hanya alasanku untuk membuat kamu menjauhiku. Supaya kamu membenciku, supaya kamu bisa melupakanku dan terbiasa menjalani kehidupanmu tanpa kehadiranku. Maaf, aku baru bisa mengatakan semuanya sekarang," lanjutnya sembari mengambil kembali tanganku di pangkuan untuk digenggam.
Aku langsung menepis kasar tangannya. Tubuhku bergeser menjauhi Shaka. Sorot terluka tercetak jelas di kedua mataku yang sembab. Aku benar-benar tak habis pikir dengan jalan otaknya. Kenapa dia bisa sepicik itu?
Pandanganku mengedar ke sekeliling. Mencari keberadaan sepasang manusia dengan dua anaknya yang tadi duduk di seberang sana. Mungkin sekarang mereka sedang menonton drama yang tengah kami perankan. Atau mungkin ada orang lain yang juga ikut menyaksikan?
"Tata—"
Lagi, aku menoleh cepat ke arah Shaka, memotong ucapannya sebelum dia membuatku makin naik pitam, "Kamu kira dengan begitu aku bisa melupakanmu? Enggak, Shak! Bahkan dua tahun pun belum cukup untukku menghilangkan semua jejakmu di hidupku!" Sial! Tenggorokanku tercekat. Susah payah aku menelan saliva guna meloloskan batu yang mengganjal di kerongkonganku. Sakit, bagai menelan duri.
Aku terisak di tempat. Tanganku mengepal kuat, bersiap meninju siapapun agar emosiku bisa tersalurkan. Aku membencinya, sangat. Tapi juga mencintainya. Astaga, bodohnya aku!
"I hate you," gumamku yang masih bisa didengarnya. Dari ujung netraku tampak Shaka menganggukkan kepala, membenarkan ucapanku.
"Kamu dengarkan aku bilang apa?! I hate you, Shak! Aku benci kamu seumur hidupku! Selama-lamanya aku akan membencimu!" seruku yang kehilangan kendali. Aku tak peduli jika sikapku tadi terkesan kekanakan. Aku hanya sedang mengeluarkan beban berat di hatiku. Aku hanya ingin dia tahu kalau aku benar-benar sudah membencinya. Biarkan saja kami memancing perhatian orang-orang sekitar. Toh, setelah ini kupastikan kami tidak akan bertemu lagi.
Kepalaku mendadak blank. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi sekarang. Apakah lebih baik aku pulang sekarang? Aku bingung, ingin menyelamatkan wajahku terlebih dahulu atau memuaskan egoku dengan balas menyakiti Shaka.
Di tengah kebingunganku, sebuah tangan kokoh sigap menarikku mendekatinya. Shaka memelukku, membisikkan kata-kata maaf seakan dengan begitu aku bisa tenang. Namun lagi-lagi pikirannya salah. Aku malah berontak dalam hangat peluk Shaka, berusaha melepaskan diri dari jerat pesonanya tapi gagal. Shaka mendekapku begitu erat.
"Aku menolak semua laki-laki yang datang hanya karena takut mereka akan bosan! Tapi kamu ... kamu bahkan dengan mudah menerima dia! Sure, Shak! Sekarang ajarin aku gimana caranya melupakan kamu!" Aku terus berteriak, memukuli sekuat tenaga dadanya yang bidang itu. Shaka tak menjawab apa-apa. Kurasakan pemuda itu mengecup puncak kepalaku. Sebelah tangannya melingkari tubuhku, sementara sebelah tangannya yang lain digunakan untuk menahan kedua tanganku yang terus memukulinya.
"Aku benci kamu, tapi aku lebih benci diriku sendiri. Aku ... aku yang nggak bisa lupain kamu," racauku sebelum akhirnya gelap menyelimuti. Tanganku berhenti memukul, seiring dengan kepalaku yang jatuh menubruk tubuh Shaka.
Sebelum kesadaranku terenggut sepenuhnya, telingaku jelas mendengar sebuah bisikan lirih yang entah berasal dari mana.
"Jangan lupain aku, karena aku juga nggak akan pernah lupain kamu."
Komentar
Posting Komentar